Di tengah panasnya sengketa tanah di Desa Ketab, Kabupaten Barito Timur, terlihat semangat tak kenal lelah dari ahli waris almarhum Nertian Lenda. Mereka didampingi oleh Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (Batamad) dalam memperjuangkan hak atas tanah yang telah mereka pertahankan sejak 2008. Tanah ini kini dikuasai oleh perusahaan pertambangan PT MUTU, yang menambah rumitnya perjuangan mereka.
Mediasi yang diadakan oleh Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial (PKS) Barito Timur pada Kamis, 25 Juli 2024, di Ruang Rapat Wakil Bupati Barito Timur, membuka kembali luka lama. Namun, di balik kesulitan itu, terlihat sinar harapan dari komitmen Batamad yang dipimpin oleh Hardy Calvijn Agoeh.
“Semenjak kami dipercaya oleh keluarga besar untuk mendampingi, dan setelah kami meminta seluruh legalitas asli diperlihatkan dan diserahkan untuk kami pelajari selama satu tahun, kami akan mengurus ini dan tidak akan kami lepas sampai betul-betul mencapai titik penyelesaian,” tegas Hardy.
Kisah ini bukan hanya tentang tanah, tetapi tentang sejarah, identitas, dan kehormatan masyarakat. Para ahli waris, yang kini berjumlah tujuh orang, mempercayakan masa depan mereka kepada Batamad dengan harapan keadilan akan berpihak pada mereka.
Hardy dan timnya telah menelaah setiap dokumen dan legalitas yang ada, memastikan bahwa perjuangan mereka berdiri di atas dasar yang kuat.
Dalam mediasi tersebut, perwakilan PT MUTU, Ahmad Husen, meminta waktu satu bulan untuk mempelajari dokumen tuntutan yang diajukan ahli waris Nertian Lenda. Hardy menanggapi dengan skeptis, “Satu bulan dalam hal ini disepakati oleh mereka untuk mempelajari dokumen tuntutan kami, tapi kami sangat bingung karena dokumen yang disampaikan kepada PT MUTU sudah banyak dan tidak ada yang perlu dipelajari lagi.”
Ahli waris Nertian Lenda siap kapan saja untuk mengecek lahan atau melakukan pematokan sesuai surat-surat kepemilikan. Mereka tidak gentar dengan ketidakpastian yang ada, meski PT MUTU mencoba menunda penyelesaian masalah ini.
Hardy menegaskan pentingnya menyelesaikan masalah ini melalui musyawarah mufakat sesuai adat dan etika.
“Jika akhirnya itu mengganggu aktivitas mereka, ya secara aturan adat, etika masyarakat Dayak apa salahnya kalau mereka mengetuk pintu, permisi, bagaimana jika lahan bapak-ibu ini kami pinjam untuk pakai,” ucapnya.
Kisah ini menjadi cerminan dari kekuatan komunitas adat yang bersatu dalam menghadapi tantangan modernisasi dan kepentingan korporasi. Mediasi ini diharapkan bisa menjadi langkah awal menuju penyelesaian yang adil bagi semua pihak, dan menjamin bahwa hak-hak masyarakat tidak akan terpinggirkan.
Dengan harapan dan doa, para ahli waris Nertian Lenda dan Batamad terus melangkah, mengingatkan kita semua bahwa keadilan adalah hak setiap manusia, apapun latar belakang dan identitasnya. Semoga perjalanan panjang mereka segera menemukan ujung yang indah.(*)